Peranan Pembukaan UUD 1945 dalam 4 Pilar kebangsaan
Latar
belakang masalah
Berbagai
fenomena bermunculan seiring semakin menipisnya realisasi nilai-nilai
luhur yang terkemas dalam empat pilar kebangsaan. Menjadi
menarik untuk direnungkan kembali adalah bagaimana seharusnya empat
pilar kebangsaan yakni Pancasila,
UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan Bhinneka
Tunggal Ika dapat
benar-benar fungsional dalam memembentuk karakter bangsa dan
bernegara? Bagaimana pilar kebangsaan dapat berjalan sinergis
sehingga menopang terciptanya karakter bangsa yang dicita-citakan.
Tulisan ini akan mencoba menjawab secara ringkas permasalahan
tersebut di atas dalam perspektif keterkaitan pilar kebangsaan dengan
karakter yang semestinya tercipta, agar negara Indonesia yang
dicitakan sesuai dengan amanat Proklamasi 17 Agustus 1945 dan
Pembukaan UUD 1945 tetap berdiri kokoh.
- Pancasila
Pancasila
merupakan dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sehingga
memiliki fungsi yang sangat fundamental. Selain bersifat yuridis
formal yang mengharuskan seluruh peraturan perundang-undangan
berlandaskan pada Pancasila (sering disebut sebagai sumber dari
segala sumber hukum), Pancasila juga bersifat filosofis. Pancasila
merupakan dasar filosofis dan sebagai perilaku kehidupan.
Artinya, Pancasila merupakan falsafah negara dan pandangan/cara hidup
bagi bangsa Indonesia dalam
menjalankan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara untuk
mencapai cita-cita nasional. Sebagai dasar negara dan sebagai
pandangan hidup, Pancasila mengandung nilai-nilai luhur yang harus
dihayati dan dipedomani oleh seluruh warga negara Indonesia dalam
hidup dan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Lebih dari itu, nilai-nilai Pancasila sepatutnya menjadi karakter
masyarakat Indonesia sehingga Pancasila menjadi identitas atau jati
diri bangsa Indonesia.
Pancasila
dalam pengertian ini sering juga disebut way
of life.
Dalam hal ini, Pancasila dipergunakan sebagai petunjuk hidup
sehari-hari (Pancasila diamalkan dalam hidup sehari-hari). Dengan
perkataan lain, Pancasila digunakan sebagai penunjuk arah semua
kegiatan atau aktifitas hidup dan kehidupan didalam segala bidang.
Ini berarti bahwa semua tingkah laku dan tindak/perbuatan setiap
manusia Indonesia harus dijiwai dan merupakan pancaran dari semua
sila Pancasila karena Pancasila sebagai weltanschauungselalu
merupakan suatu kesatuan, tidak bias dipisah-pisahkan satu dengan
yang lain. Keseluruhan sila didalam Pancasila merupakan satu kesatuan
organis. Pancasila yang harus dihayati adalah Pancasila sebagaimana
tercantum didalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Dengan
demikian, jiwa
keagamaan (sebagai
manifestasi/perwujudan dari sila ketuhanan yang maha esa), jiwa
yang berperikemanusiaan (sebagai
manifestasi/perwujudan dari sila kemanusiaan yang adil dan beradab),
jiwa
kebangsaan (sebagai
manifestasi/perwujudan dari sila persatuan Indonesia), jiwa
kerakyatan (sebagai
manifestasi/perwujudan dari sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan), dan jiwa
yang menjunjung tinggi keadilan social (sebagai
manifestasi/perwujudan dari sila keadilan social bagi seluruh rakyat
Indonesia) selalu terpancar dalam segala tingkah laku dan
tindak/perbuatan serta sikap hidup seluruh Bangsa Indonesia.[3]
Demikianlah
pengertian Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa. Dilihat dari
kedudukannya, Pancasila mempunyai kedudukan yang tinggi. Oleh karena
itu, pengertian-pengertian yang berhubungan dengan pancasila dapat
diikhtisarkan sebagai berikut:
1.Pancasila
sebagai jiwa bangsa Indonesia.
2.Pancasila
sebagai kepribadian bangsa Indonesia.
3.Pancasila
sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia.
4.Pancasila
sebagai dasar Negara Republik Indonesia.
5.Pancasila
sebagai sumber dari segala sumber hukum atau sumber tertib hukum bagi
negara Republik Indonesia.
6.Pancasila
sebagai perjanjian luhur bangsa Indonesia pada waktu mendirikan
negara.
7.Pancasila
sebagai cita-cita dan tujuan bangsa Indonesia.
8.Pancasila
sebagagai falsafah hidup yang mempersatukan bangsa Indonesia.
- Undang-Undang Dasar 1945
Derivasi
nilai-nilai luhur Pancasila tertuang dalam norma-norma yang terdapat
dalam Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945. Oleh karena itu, landasan
kedua yang harus menjadi acuan dalam pembangunan karakter bangsa
adalah norma konstitusional UUD 1945. Nilai-nilai universal yang
terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 harus terus dipertahankan menjadi
norma konstitusional bagi negara Republik Indonesia.
Keluhuran
nilai yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 memancarkan tekad
dankomitmen bangsa Indonesia untuk
tetap mempertahankan pembukaan itu dan bahkan tidak akan mengubahnya.
Paling tidak ada empat kandungan isi dalam Pembukaan UUD 1945 yang
menjadi alasan untuk tidak mengubahnya. Pertama, di dalam Pembukaan
UUD 1945 terdapat norma dasar universal bagi berdiri tegaknya sebuah
negara yang merdeka dan berdaulat. Dalam alinea pertama secara
eksplisit dinyatakan bahwa “kemerdekaan adalah hak segala bangsa
dan oleh karena itu penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena
tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”. Pernyataan
itu dengan tegas menyatakan bahwa kemerdekaan merupakan hak segala
bangsa dan oleh karena itu, tidak boleh lagi
ada penjajahan di muka bumi. Implikasi dari norma ini adalah
berdirinya negara merdeka dan berdaulat merupakan
sebuah keniscayaan. Alasan kedua adalah di dalam Pembukaan UUD
1945 terdapat norma yang terkait dengan tujuan negara atau tujuan
nasional yang merupakan cita-cita pendiri bangsa atas berdirinya
NKRI. Tujuan negara itu meliputi empat butir, yaitu (1) melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,
(2) memajukan kesejahteraan umum, (3) mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan (4) ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Cita-cita itu
sangat luhur dan tidak akan lekang oleh waktu. Alasan ketiga,
Pembukaan UUD 1945 mengatur ketatanegaran Indonesia khususnya tentang
bentuk negara dan sistem pemerintahan. Alasan keempat adalah karena
nilainya yang sangat tinggi bagi bangsa dan negara Republik
Indonesia, sebagaimana tersurat di dalam Pembukaan UUD 1945 terdapat
rumusan dasar negara yaitu Pancasila.
Selain
pembukaan, dalam Batang Tubuh UUD 1945 terdapat norma-norma
konstitusional yang mengatur sistem ketatanegaraan dan pemerintahan
Indonesia, pengaturan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia, identitas
negara, dan pengaturan tentang perubahan UUD 1945 yang semuanya itu
perlu dipahami dan dipatuhi oleh warga negara Indonesia. Oleh karena
itu, dalam pengembangan karakter bangsa, norma-norma konstitusional
UUD 1945 menjadi landasan yang harus ditegakkan untuk kukuh
berdirinya negara Republik Indonesia.
Dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia, segala dinamika kekuasaan,
hubungan antar cabang kekuasaan, mekanisme hubungan antara negara,
civil society, diikat dan tersimpul dalam suatu dokumen yang
disepakati sebagai sumber hukum tertinggi yaitu Undang-Undang Dasar
1945 Undang-Undang
Dasar 1945 telah mengalami beberapa kali perubahan mendasar. Sejak
kemerdekaan, bangsa kita telah menetapkan 8 kali undang-undang dasar,
yaitu (1) UUD 1945, (2) Konstitusi RIS 1949, (3) UUDS 1950, (4) UUD
1945 versi Dekrit 5 Juli 1959, (5) Perubahan Pertama UUD 1945 tahun
1999, (6) Perubahan Kedua tahun 2000, (7) Perubahan Ketiga tahun
2001, dan (8) Perubahan Keempat pada tahun 2002, dengan nama yang
dipertegas, yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
Di
samping UUD 1945 sebagai konstitusi yang tertulis, dalam teori dan
praktik, dikenal juga adanya pengertian mengenai konstitusi yang
tidak tertulis, misalnya kebiasaan-kebiasaan dan konvensi
ketatanegaraan, interpretasi konstitusional oleh pengadilan (dalam
hal ini Mahkamah Konstitusi), dan prinsip-prinsip kenegaraan yang
hidup dan dipandang ideal dalam masyarakat. Misalnya, ada pengertian
yang hidup dalam masyarakat kita bahwa empat pilar kebangsaan
Indonesia yang mencakup (1) Pancasila, (2) UUD 1945, (3) NKRI, dan
(4) Semboyan Bhinneka-Tunggal-Ika. Karena itu, keempat pilar tersebut
juga dapat dipandang berlaku sebagai isi konstitusi Indonesia dalam
pengertiannya yang tidak tertulis. Maksudnya, UUD 1945 sendiri tidak
menyebut bahwa keempat hal tersebut merupakan pilar kebangsaan,
kecuali dalam Pasal 37 ayat (5) yang menyatakan bahwa mengenai bentuk
NKRI tidak dapat diadakan perubahan sama sekali.
Oleh
karena itu, UUD 1945 haruslah dijadikan referensi tertinggi dalam
merumuskan setiap kebijakan kenegaraan dan pemerintahan di semua
bidang dan sektor. Lagi
pula, sekarang kita telah membentuk Mahkamah Konstitusi yang
berwenang menguji konstitusionalitas setiap kebijakan yang dituangkan
dalam bentuk undang-undang. Oleh sebab itu, para anggota DPR sebagai
anggota lembaga yang bertindak sebagai policy
maker,
pembentuk undang-undang,
perlu menghayati tugasnya dengan berpedoman kepada UUD 1945.[4]
Dengan
demikian, Undang-Undang Dasar 1945 sebagai hukum yang tertinggi
memuat gambaran dan hasrat ketatanegaraan republik Indonesia serta
gambaran kerangka ketatanegaraan itu serta menentukan tujuan dan
garis-garis pokok kebijaksanaan pemerintahan[5] sebagai
kontrak sosial antara masyarakat dengan lembaga-lembaga negara maupun
antar lembaga negara yang satu dengan lembaga negara yang lain.
3.NKRI
(Negara Kesatuan Republik Indonesia)
Asas
normatif filosofis-ideologis NKRI seutuhnya ialah filsafat negara
Pancasila. Filsafat Pancasila sebagaipandangan
hidup bangsa(Weltanschauung),
diakui juga sebagai jiwa
bangsa=(Volksgeist,
jatidiri nasional) Indonesia. Identitas dan integritas nilai
fundamental ini secarakonstitusional
dan
institusional
ditegakkan
dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai nation
state.
Secara
filosofis-ideologis dan konstitusional, bahkan kultural negara
kebangsaan (nation state) adalah peningkatan secara kenegaraan
dari nilai dan asas kekeluargaan. Makna kekeluargaan, bertumpu pada
karakteristika dan integritas keluarga yang manunggal; sehingga
rukun, utuh-bersatu, dengan semangat kerjasama dan kepemimpinan
gotong-royong. Jadi, nation state Indonesia adalah wujud makro
(nasional, bangsa, negara) dari rakyat warga negara Indonesia
se-nusantara.
Identitas
demikian ditegakkan dalam nation state NKRI yang dijiwai asas
kekeluargaan, asas kebangsaan (Wawasan Nasional: sila ketiga
Pancasila) dan ditegakkan dengan semangat asas wawasan nusantara.
Karenanya, secara normatif integritas NKRI kuat, tegak tegar
menghadapi berbagai tantangan nasional dan global.
Keseluruhan
identitas dan integritas kebangsaan dan kenegaraan Indonesia dijiwai,
dilandasi dan dipandu oleh nilai fundamental dasar negara Pancasila.
Karenanya, NKRI dapat dinamakan dengan predikat sebagai sistem
kenegaraan Pancasila. Sistem kenegaraan ini terjabar secara
konstitusional dalam UUD 1945. NKRI sebagai nation state
membuktikan bagaimana potensi dan kualitas dari integritas
wawasan nasional Indonesia raya yang diwarisi, tumbuh, dan teruji
dalam berbagai tantangan nasional dan global.
Kesepakatan
yang juga perlu ditegaskan dalam pembangunan karakter bangsa adalah
komitmen terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Karakter
yang dibangun pada manusia dan bangsa Indonesia adalah karakter yang
memperkuat dan memperkukuh komitmen terhadap NKRI, bukan karakter
yang berkembang secara tidak terkendali, apalagi menggoyahkan NKRI.
Oleh karena itu, rasa cinta terhadap tanah air (patriotisme)
perlu dikembangkan dalam pembangunan karakter bangsa. Pengembangan
sikap demokratis dan menjunjung tinggi HAM sebagai bagian dari
pembangunan karakter harus diletakkan dalam bingkai menjunjung tinggi
persatuan dan kesatuan bangsa (nasionalisme), bukan untuk memecah
belah bangsa dan NKRI. Oleh karena itu, landasan keempat yang harus
menjadi pijakan dalam pembangunan karakter bangsa adalah komitmen
terhadap NKRI.
4.Bhineka
Tunggal Ika
Landasan
selanjutnya yang mesti menjadi perhatian semua pihak dalam
pembangunan karakter bangsa adalah semboyan Bhinneka
Tunggal Ika.
Semboyan
itu bertujuan menghargai perbedaan/keberagaman, tetapi tetap bersatu
dalam ikatan sebagai bangsa Indonesia, bangsa yang memiliki kesamaan
sejarah dan kesamaan cita-cita
untuk mewujudkan masyarakat yang “adil dalam kemakmuran” dan
“makmur dalam keadilan” dengan dasar negara Pancasila dan dasar
konstitusional UUD 1945.
Keberagaman
suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) merupakan suatu
keniscayaan dan tidak bisa dipungkiri oleh bangsa Indonesia. Akan
tetapi, keberagaman itu harus dipandang sebagai kekayaan khasanah
sosiokultural, kekayaan yang bersifat kodrati dan alamiah sebagai
anugerah Tuhan yang Maha Esa bukan untuk dipertentangkan, apalagi
dipertantangkan (diadu antara satu dengan lainnya) sehingga
terpecah-belah. Oleh karena itu, semboyan Bhinneka Tunggal Ika
harus dapat menjadi penyemangat bagi terwujudnya persatuan dan
kesatuan bangsa Indonesia.
Sejak
Negara Republik Indonesia merdeka, para pendiri bangsa mencantumkan
kalimat ”Bhinneka Tunggal Ika” sebagai semboyan pada lambang
negara Garuda Pancasila. Kalimat itu sendiri diambil dari falsafah
Nusantara yang sejak jaman Kerajaan Majapahit juga sudah dipakai
sebagai motto pemersatu Nusantara, yang diikrarkan oleh Patih Gajah
Mada dalam Kakawin Sutasoma, karya Mpu Tantular:
Rwāneka
dhātu winuwus wara Buddha Wiśwa,
bhinnêki
rakwa ring apan kěna parwanosěn,
mangka
ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal,
bhinnêka
tunggal ika tan hana dharmma mangrwa
Terjemahan:
Konon
dikatakan bahwa Wujud Buddha dan Siwa itu berbeda. Mereka memang
berbeda. Namun, bagaimana kita bisa mengenali perbedaannya dalam
selintas pandang? Karena kebenaran yang diajarkan Buddha dan Siwa itu
sesungguhnya satu jua. Mereka memang berbeda-beda, namun hakikatnya
sama. Karena tidak ada kebenaran yang mendua. (Bhineka
Tunggal ika tan Hana Dharma Mangrwa).
Frasa
tersebut berasal dari bahasa Jawa Kuno dan diterjemahkan dengan
kalimat Berbeda-beda tetapi tetap satu. Kemudian terbentuklah Bhineka
Tunggal Ika menjadi jati diri bangsa Indonesia. Ini artinya, bahwa
sudah sejak dulu hingga saat ini kesadaran akan hidup bersama di
dalam keberagaman sudah tumbuh dan menjadi jiwa serta semangat bangsa
di negeri ini.